STORYTELLING: JEMBATAN PENGHUBUNG IMAJINASI DAN PENDIDIKAN KARAKTER

"Sombong sekali ya, si Kelinci itu", celetuk Mei, salah satu murid saya saat mendengarkan cerita tentang Kelinci dan Kura-kura yang berlomba adu lari. Kejadian itu sedikit menggelitik hati. Wow, anak sekecil ini tahu makna kesombongan tanpa harus ada penjelasan tentang pesan moral dari cerita yang ia dengar, pikir saya waktu itu. Kejadian tersebut adalah satu di antara sekian peristiwa unik yang saya alami ketika menerapkan kegiatan storytelling atau bercerita di dalam kelas.
 
Sebagai guru Taman Kanak-kanak, kegiatan bercerita adalah hal yang menyenangkan bagi saya.  anak begitu penuh warna, bahkan, imajinasi mereka terkesan 'liar' dan di luar mengejutkan. Contohnya, saya pernah meminta salah seorang murid untuk menggambar hal yang berhubungan dengan api, air atau udara. Tentunya, menebak makna gambar dari seorang anak kecil bukanlah perkara mudah, cara berpikir mereka berbeda dengan orang dewasa. Saya memprediksi ia akan menggambar balon, lilin atau segelas air, mungkin? Ternyata ia malah menggambar deretan superhero seperti Spiderman (menurutnya) untuk mengisi kekosongan pada buku gambarnya. Saya bertanya padanya, "lalu, dimana ibu bisa melihat air, api atau udara?" Dia terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian ia menggambar rintik-rintik hujan, Iron Man yang mengeluarkan sinar laser dan Monster Hijau yang terbang dengan powerjet-nya. Menarik, bukan? Pemikiran itu tidak terbantahkan karena ketiganya berkaitan juga dengan tema yang saya minta. Imajinasi anak adalah dunia tanpa batas, setidaknya, harus ada cara yang dapat digunakan untuk menghubungkan hal itu dengan proses belajarnya.
Gambar 01. Imajinasi anak yang tak terduga dan luar biasa

Anak-anak usia dini sering kali disebut berada pada masa emas atau golden age. Menurut Maria Montessori, seorang pakar pendidikan anak usia dini, anak-anak dari usia lahir hingga 6 (enam) tahun sangat peka pada rangsangan, terutama yang ia rasakan di lingkungan sekitarnya. Mereka akan menyerap setiap rangsangan yang diterima, baik yang disengaja maupun tidak. Rangsangan dalam konteks proses pembelajaran tentunya berkaitan dengan perkembangan berbagai macam kemampuan individu dari setiap anak (Agama dan moral, Sosial-emosional, Fisik-motorik, Kognitif, Bahasa dan Seni). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa individu yang merdeka adalah ia yang bebas dari segala ikatan, namun cakap untuk memerintah dirinya sendiri. Kecakapan memerintah diri tentunya didasari oleh kuatnya karakter. Anak-anak harus mengalami rangsangan yang dapat membangun karakternya. Karakter sangat erat kaitannya dengan sifat, tabiat dan akhlak yang tentunya sangat diharapkan untuk bertumbuh dengan baik dalam diri seorang murid.

Saat membuat tulisan ini, saya merenungkan sesuatu. Selama ini, kegiatan bercerita merupakan hal yang seringkali ditunggu oleh anak-anak. Bercerita merupakan seni bernarasi dalam menyampaikan suatu kejadian melalui berbagai media. Media yang saya gunakan dapat berupa panggung boneka, boneka tangan, buku bacaan, gambar, lagu, hingga diri saya sendiri yang memerankan tokoh ceritanya. Terkadang saya melakukan perubahan suara, memasang berbagai ekspresi sesuai penggambaran situasi ditambah dengan gerakan-gerakan tubuh yang dapat membantu memperjelas cerita yang disampaikan. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik. Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang ingin saya bagikan terkait pengalaman dalam menerapkan kegiatan bercerita di kelas. Beberapa hal itu adalah sesuatu yang saya pikirkan sebelum melakukan proses bercerita.
Gambar 02. Kegiatan storytelling dengan memanfaatkan media panggung boneka

1. Cerita berkaitan dengan kehidupan dan dunia anak

Ada dua aspek yang saya pertimbangkan dalam kaitannya dengan kehidupan anak, imajinasi dan pendidikan karakter. Imajinasi tidak hanya berbicara tentang hal-hal semu yang tak masuk logika, imajinasi juga bermakna suatu proses mengembangkan daya pikir untuk menciptakan bayangan akan suatu peristiwa (gambaran maupun sensasi perasaan) dalam benak si pemikir tanpa harus merasakannya dengan panca indera. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, bercerita adalah sebuah seni. Ajaklah anak menikmati keindahan seni narasi melalui imajinasi, sisipkan hal-hal tentang akhlak mulia pada cerita kita. Jangan menganggap remeh kepolosan seorang anak, kepekaan dan empati mereka bisa jadi melebihi ekspektasi orang dewasa.

2. Media yang menarik perhatian

Media merupakan alat untuk menyampaikan informasi. Bagi saya, kata 'menarik' merupakan hal abstrak yang sulit dijelaskan karena merupakan suatu kata sifat yang bernilai relatif. Konteks kali ini, saya ingin menggarisbawahi cakupan kata menarik sebagai sesuatu yang membuat anak-anak penasaran, terkagum, bertanya, tertawa, dan hal lainnya yang membuat mereka menjadi ekspresif dan responsif. Media yang digunakan harus membuat mata mereka tertuju padanya.

3. Penggunaan diksi yang sederhana dan kalimat pendek

Diksi merupakan hal yang harus diperhatikan dalam mengarang atau memilih cerita yang akan disampaikan pada anak. Ada baiknya jika cerita yang dipilih menggunakan kata-kata yang sederhana dan kalimat yang pendek agar memungkinkan untuk dapat dimengerti oleh anak. Jika dalam cerita didapati kata yang sulit dimengerti, harus ada siasat untuk menggantinya dengan kata bermakna sepadan namun lumrah didengar oleh anak. Seperti halnya mengganti kata berang dengan marah, atau berduyun-duyun dengan ramai-ramai.

4. Akting? Why not? Tidak perlu malu

Ada satu waktu ketika saya mendadak harus bercerita tentang kancil mencuri timun. Saat itu tidak ada media gambar yang dapat digunakan. Tak ada rotan, akarpun jadi. Kita tidak boleh menyerah dengan keadaan, bukan? Saya menjadikan diri saya sendiri sebagai media untuk bercerita, saya bergerak dan bersuara seperti tokoh, saya berlarian di dalam kelas, melompat dan menunjukkan mimik muka yang berbeda-beda. Saya tidak merasa malu jika harus melakukan sesuatu untuk membuat murid saya senang dengan ceritanya. Mimik wajah, gerakan tubuh serta pengkondisian suasana juga sangat mempengaruhi cerita dengan gambar. Tidak mungkin jika kita hanya membolak-balik buku bacaan dan membacakannya dengan intonasi yang datar, tentunya harus ada usaha yang dilakukan agar membuat cerita itu lebih menarik untuk dinimati dan didengar oleh audiens kita.

Semua ini adalah pengalaman yang saya lalui. Seorang guru bukan hanya menjadi pendidik saat di sekolah saja, di sisi yang lain, ia juga menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Sebagaimana kita rindu untuk menciptakan 'rumah' yang nyaman bagi pertumbuhan karakter orang terdekat kita, biarlah sekolah juga dapat menjadi tempat di mana murid dapat dicintai dan bertumbuh menjadi individu berkarakter tangguh. Imajinasi bukan sekedar kegiatan berkhayal, biarkan murid berkembang dengan pikirannya, tugas guru hanyalah sebagai penuntun untuk mengarahkan hasil pemikiran murid agar sesuai dengan kodratnya. Tak ada gading yang tak retak, tak ada hal yang sempurna. Kiranya apa yang saya bagikan dapat bermanfaat. Salam bahagia! Salam Guru Penggerak!

Penulis: Eunike Putri Antingsari

Post a Comment for "STORYTELLING: JEMBATAN PENGHUBUNG IMAJINASI DAN PENDIDIKAN KARAKTER"